TAKE HOME
1. a) Dalam pembelajaran sastra di SD terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan untuk persiapan pembelajarannya. Salah satu langkah yang harus dilalui adalah memilih materi pembelajaran. Hal-hal apakah yang harus anda lakukan dalam pemilihan materi ?
b) Bagaimanakah materi-materi yang cocok untuk kelas rendah (1, 2, 3) dan materi kelas tinggi (4, 5, 6) dan hal-hal apakah yang harus anda pertimbangkan dalam pemilihan materi tersebut ?
2. Bagaimanakah bentuk-bentuk pemahaman karya sastra secara reseptif dan secara produktif ?
Bentuk-bentuk pemahaman sastra secara reseptif dapat dilakukan dengan cara membaca, mendengarkan, dan menyaksikan pementasan drama. Karya sastra berbentuk prosa, seperti dongeng, cerpen, novel, roman dapat dinikmati dengan cara membaca buku atau dengan cara menyimak tatkala karya itu diperdengarkan atau dibaca orang lain. Akan tetapi, puisi sebagai performance arts pada umumnya tidak bisa dinikmati dengan baik tanpa dibaca dengan suara nyaring. Sementara itu, karya sastra berbentuk drama baru dapat dinikmati secara baik dan total apabila dipentaskan.
Membaca karya sastra tidak sekedar memahami isi melainkan juga menikmati keindahannya. Dalam kegiatan itu pembaca dituntut kemampuannya untuk menangkap nilai estetik dan memahami unsur struktur yang membangun karya sastra. Semua itu dimaksudkan agar pembaca dapat menikmati dan menjiwainya sehingga memungkinkan seorang pembaca untuk menceritakan dan mengekspresikannya kepada orang lain.
Seseorang yang ingin membaca dan mendengarkan suatu cerita dengan baik perlu berbekal pengetahuan tentang unsur-unsur pembentuk prosa, misalnya (1) penokohan dan karakter, (2) alur atau plot cerita, (3) setting atau latar cerita, (4) point of view atau pusat pengisahan, (5) tema, dan (6) amanat. Dengan demikian, pembaca dapat menikmati cerita itu secara utuh sehingga dapat diperoleh kesenangan, informasi, warisan kultural, dan keseimbangan wawasan.
Bentuk-bentuk pemahaman sastra secara produktif dapat dilakukan dengan cara berbicara dan menulis, khususnya menulis kreatif di sekolah-sekolah. Menulis kreatif memberikan kesempatan kepada para siswa untuk melatih dirinya mengemukakan ide imajinasinya dalam bentuk karya sastra, baik prosa, puisi, maupun drama. Menulis kreatif merupakan kegiatan penulisan yang memanfaatkan kemampuan berpikir kritis kepekaan imajinasi, dam kekuatan fantasi untuk mendukung fakta. Dalam hal ini kebenaran factual tidak menjadi ukuran satu-satunya terhadap hasil tulisan. Sasaran utamanya bukan pada intelektual dan logika saja, melainkan rasa senang dan estetika. Pembaca terkagum bukan karena kebenaran logika dan fakta, melainkan pada kebenaran artistik yang ukurannya adalah kepekaan intuitif. Percy (dalam Munandar, 1988 : 30-31) mengemukakan delapan makna dan manfaat menulis kreatif, yaitu (1) mengungkapkan diri, (2) memahami perasaan dan pikiran, (3) meningkatkan kesadaran pengamatan terhadap lingkungan, (4) melibatkan diri secara aktif, (5) mengembangkan kemampuan bahasa, (6) mengembangkan keterampilan kognitif, (7) mengembangkan inisiatif dan disiplin diri, dan (8) mendapatkan kesenangan.
Sedangkan dalam praktik bercerita yang sudah jelas menggunakan keterampilan berbicara, ada baiknya pencerita (1) menetapkan tujuan bercerita, (2) memperhatikan reaksi pendengar, (3) menjalin kontak mata dengan pendengar, (4) memperhatikan tempat duduk pendengar, (5) mengusahakan efek suara yang tepat, (6) mempersiapkan alat-alat dan sarana pendukung cerita, (7) jangan menguji pendengar, (8) memodifikasi cerita ke dalam situasi pendengar, (9) membuat persiapan untuk mengevaluasi penampilan dengan menggunakan beberapa format evaluasi, (10) mempersiapkan format yang memungkinkan pendengar melakukan kritrik dan evaluasi.
3. Sastra memuat nilai-nilai ekstrinsik dan nilai-nilai intrinsik. Uraikan secara teliti apakah nilai-nilai ekstrinsik dan nilai-nilai intrinsik tersebut, dan berikan contohnya dalam teks sastra !
Nilai-nilai intrinsik yang terkandung dalam karya sastra yaitu :
1. Tema, adalah sebagai salah satu unsur karya sastra. Tema (theme), menurut Stanton (1965 : 20) dan Kenny (1966 : 88) adalah makna yang dikandung dalam sebuah cerita. Tema walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna ynag “disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya. Contohnya :
2. Plot, secara tradisional orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita, sedangkan dalam teori-teori yang berkembang lebih kemudian dikenal adanya istilah struktur naratif, susunan, dan juga sujet. Penyamaan begitu saja antara plot dengan jalan cerita, atau bahkan mendefinisikan plot sebagai jalan cerita sebenarnya kurang tepat. Plot memang mengandung unsur jalan cerita atau tepatnya : peristiwa demi peristiwa yang susul-menyusul namun ia lebih dari sekedar jalan cerita itu sendiri. Untuk memperjelas masalah tersebut, berikut contoh dalam teks sastranya : Beberapa orang dosen yang mengajar pagi jam pertama sudah seringkali menyindir, bahkan ada yang lebih dari sekedar itu, Nita yang terlalu sering datang terlambat. Jika diinterval dengan waktu, keterlambatannya berkisar antara 5 sampai antara 30 menit. Herannya, Nita sendiri seperti tak acuh. Maka, tak jarang dosen yang rajin mempertimbangkan faktor nonakademis akan mempertimbangkan sekali lagi kelulusannya. Hari Senin yang lalu pun ia terlambat hampir 25 menit. Ternyata hal itu telah didugaoleh sang dosen yang jatahnya mengajar jam 07.00 untuik kelasnya. Karena pada malam harinya, menjelang tengah malam, suatu hal yang lain dari biasanya, sang dosen yang keluar rumah mencari angin segar, melihat Nita berjalan rapat dan nyaris menggelendot dengan seorang pria di seberang jalan. Pemandangan seperti itu, dengan tokoh yang sama bukan barang baru baginya
Kisah di atas secara jelas menunjukkan adanyakaitan sebab akibat. Artinya, kemunculannya peristiwa-peristiwa yang lebih kemudian. Hubungan antarperistiwa itu bukan sekedar hubungan perurutan saja karena hubungan antarkeduanya bersifat saling memprasyarati.
3. Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan social tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981 : 175). Tahap awal karya fiksi pada umumnya berisi penyituasian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan. Misalnya, pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin juga hubungan waktu, dan lain-lain yang dapat menuntun pembaca secara emosional kepada situasi cerita. Namun, hal itu tidak berarti bahwa pelukisan dan penunjukan latar hanya dilakukan pada tahap awal cerita. Penggambaran latar yang berkepanjangan pada tahap awal cerita justru dapat membosankan. Penunjukan latar fisik dalam karya sastra dapat dengan cara yang bermacam-macam, tergantung selera dan kreativitas pengarang. Ada pengarang yang melukiskan secara rinci, sebaliknya ada pula yang menunjukkannya dalam bagian cerita. Artinya, ia tak secara khusus menceritakan situasi latar. Contohnya : Baru keesokan harinya pemuda-pemuda memperoleh kepastian : Belanda dursetut ke Yogya, kota kabupaten diduduki musuh. Tetapi di hari pasaran Pon berikut masih banyak juga perempuan yang toh pergi ke pasar, jauh di bawah sana di tepi jalan raya aspal. Akan tetapi mereka pulang kecewa karena semua took tutup. Malam berikut orang-orang Juranggede melihat dar desa mereka, bahwa di bawah sana banyak kelihatan api menyala. Sekarang ada pula dua api. Di atas sana api kawah gunung Merpi. Di bawah sana api perang.
(Burung-burung Manyar, 1981 : 110)
Dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adapt istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan (spiritual setting).
4. Penokohan, seperti dikatakan oleh Jones (1968 : 33), adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Sedangkan tokoh cerita, menurut Abrams (1981 : 20) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh”, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Contohnya :
- “Lho, ya nDoro Kanjeng pensiunan/Direktur Jenderal RTF di Betawi/Pada jaman permulaan Orde Baru/….(54).
- Kini dia menjadi dosen di Ngayogyakarta/Fakultas Sastra dan Kebudayaan/Universitas Gadjah Mada/Dan Fakultas Sastra dan Kebudayaan/Universitas Sebelas Maret, Solo/Sebagai Ketua Dewan film Nasional/markasnya di Kuningan, Betawi/Sebagai Direktur Pusat Sinau dan/Penelitian Kebudayaan Indonesia/Universitas Gadjah Mada/….(55).
5. Sudut pandang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 1981 : 142). Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan srtategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang dibedakan menjadi bentuk persona tokoh ketiga, persona tokoh pertama, dan sudut pandang campuran.
a. Sudut Pandang persona ketiga : “Dia”
Pada sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narrator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya ; ia, dia, mereka, nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan / siapa yang bertindak. Contohnya : Sadeli dan David memandang padanya separuh takjub. Apakah Maria berbicara sungguh-sungguh, atau hanya hendak mempermainkan mereka saja?
Melihat air muka mereka yang keheranan, Maria tiba-tiba tertawa, merasa amat lucu. Davud Wayne dan Sadeli ikut tertawa, meskipun tak begitu mengerti apa yang ditertawakan Maria, dan segera mereka merasa seakan sudah berkenalan lama.
(Maut dan Cinta, 1977 : 215).
b. Sudut Pandang persona pertama : “Aku”
Dalam hal ini, narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri mengisahkan peristiwa na tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang lain kepada pembaca. Kita, pembaca, menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, maka kita hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut. Contoh : Aku sandarkan kepalaku pada tugu Jono. Aku pandang tamasya di sekitar bukit lewat lindungan sejuk Ray Ban. Pribadi Jono akulah yang paling kenal. Rumahnya dekat rumahku. Sejak SMP hingga SMA duduk sebangku atau berdampingan. Pasukan kami sama.
Angin sejuk dan lembut : hawa panas dan kering. Aku nyalakan sebatang “Wembley” lagi dan Jono berkata dalam makamnya………
(“Senyum” dalam Hujan Kepagian, 1966 : 12 dan 22).
c. Sudut Pandang campuran : “Dia dan Aku”
Yaitu pengarang berganti-ganti dari teknik yang 1 ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dilukiskannya. Contoh : Romina menghirup kopi itu dengan perasaan lega. Matanya tidak gelisah. Selama ini ia terbebani menjaga barang pecah belah agar tidak tersenggol oleh orang lain, dan jatuh berantakan. Menjaga barang seperti itu, menyebabkan ketegangan jiwa sepanjang hari. Suara hati Bram digugat oleh dirinya sendiri.
Awas Bram, kamu jangan terjebak Bram. Memang naluri kelaki-lakianmu selalu ingin melindungi wanita. Laki-laki akan mendapat kenikmatan dila dirinya diperlukan. Kejantanan zaman sekarang, bukan lagi terpusat pada kekuatan otot. Melainkan beralih ke sikap melindungi perempuan.
(Suami, tth : 123)
6. Bahasa, dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” daripada sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Di pihak lain sastra lebih dari sekedar bahasa, deretan kata, namun unsur “kelebihan”-nya itu pun hanya dapat diungkap dan ditafsirkan melalui bahasa. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya : fungsi komunikatif (Nurgiyantoro, 1993 : 1).
Y.B. Mangunwijaya dalam Burung-burung Manyar pun banyak memberikan sikap mengejek dan mengkritik tokoh-tokoh rakyat Indonesia yang bodoh namun lugu. Namun, di balik itu sebenarnya terimplisit keprihatinan yang bodoh-lugu itu. Hal ini sebenarnya yang ingin didialogkannya kepada pembaca, yang dengan sengaja menyikapi tokoh, juga keadaan, seperti itu.
Aku keluar rumah. Kulihat perempuan-perempuna mencuci dan berak di kali Manggis dengan air seperti jenang coklat. Bahkan sungai di sisi Timur kota Magelang yang sekotor itu ironis sekali diberi nama kali Bening. Di negeri seperti ini, air yang begitu kotor penuh berak dan hasil toh sudah berhak disebut bening.tetapi dalam kanal seperti itu juga aku dulu sebagai anak kolong mandi dengan nyaman segar.
(Burung-burung Manyar, 1981 : 132).
7. kk
8.
4. Karakteristik sastra anak terdapat 3 hal penting. Bagaimana dan berikan contoh karakteristik sastra anak tersebut ?
Sarumpaet (1976) mengidentifikasi tiga ciri pembedaantara bacaan anak-anak dengan bacaan orang dewasa dilihat dari sisi nilai, cara penyajian, dan fungsi. Ketiga ciri pembeda itu ialah adanya (a) sejumlah pantangan, (b) penyajian dengan gaya langsung, dan (c) adanya fungsi terapan.
Pertama, unsur pantangan. Tema cerita anak-anak ditentukan berdasarkan nilai edukatif. Secara psikologis, persoalan-persoalan seks, cinta erotis, kebencian, kekejaman, kekerasan, dan prasangka serta masalah hidup dan mati yang sering dijadikan fokus dalam isi sastra pantang disajikan untuk anak-anak. Hal itu akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan kejiwaan, watak, dan ideologi anak. Tema yang sesuai dengan prosa fiksi anak-anak adalah tema-tema yang menyajikan masalah-masalah yang sesuai dengan kehidupan anak, seperti kepahlawanan, kepemimpinan, suka duka, pengembaraan, peristiwa sehari-hari, kisah-kisah perjalanan seperti ruang angkasa, penjelajahan, dan sebagainya (Sarumpaet, 1976; Huck, 1987; Mitchell, 2003). Walaupun cerita dapat berakhir dengan duka, yang penting bersifat afirmatif (menimbulkan respons yang positif). Contohnya :
Kedua, penyajian dengan gaya langsung. Penyajian dengan gaya langsung umumnya berkaitan dengan pengaluran, penokohan, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa. Alur cerita anak-anak seharusnya singkat dan mengetengahkan jalinan peristiwa yang dinamis dan jelas sebab-sebabnya. Di sana-sini diselingi dengan dialog yang wajar, organis, dan hidup. Melalui pengisahan dan dialog akan terwujudkan suasana yang tergambar tokoh-tokoh yang jelas sifat, peran, maupun fungsinya dalam cerita (Farris, 1993). Tokoh-tokoh pun harus jelas kedudukannya, yakni yang baik dan yang jahat sama-sama mendapat tempat. Hubungan-hubungan yang baik maupun yang buruk antartokoh cerita harus beralasan kuat dan dapat diterima. Cara penyajian tokoh dan metode ragaan bias digunakan secara berselang-selang agar cerita menjadi hidup dan wajar.
Latar cerita juga dapat memudahkan anak mengidentifikasi cerita. Cerita dengan latar, tempat, dan waktu yang dekat dengan kehidupan anak sehari-hari dapat menarik perhatian anak. Cerita dengan latar yang asing dan jauh dari kehidupan anak-anak juga busa menjadi daya tarik dan akan membukakan mata anak-anak ke dunia yang lebih luas (Moody dalam Taufik, 1995). Begitu juga dengan pusat pengisahan atau sudut pandang yang jelas akan dapat memperjelas amanat cerita. Mengingat faktor pembaca cerita adalah anak-anak, pusat pengisahan yang sesuai untuk anak-anak adalah pencerita membiarkan tokoh-tokohnya berkisah sendiri.
Gaya bahasa dalam cerita anak umumnya dituturkan secara langsung, tidak berbelit-belit (sederhana), kalimatnya pendek-pendek, tetapi tetap mengacu pada faktor keindahan. Moody (dalam Taufik, 1995) mengingatkan perlunya disesuaikan antara tingkat kesukaran dengan tingkat kematangan intelektual anak-anak.
Ketiga, unsur terapan.kebanyakan bacaan anak-anak ditulis oleh orang dewasa sehingga fungsi terapan sering dimanfaatkan untuk menampung kecenderungan penulisnya untuk menggurui (Sarumpaet, 1976). Dari sisi format dan artistiknya, karakteristik sastra anak dapat terlihat dari segi ukuran, gambar dan ilustrasi, warna dan elemen-elemen gambar dalam cerita (Tomlinson, 2002; Mitchell, 2003; Norton, 1987). Biasanya sastra anak dilengkapi dengan gambar-gambar yang lebih menunjang sebagai media pemahaman yang dituliskan. Gambar merupakan media visual dan dapat dijadikan sebagai sebuah tiruan. Melalui gambar yang menarik anak akan akrab dengan cerita dan lebih menguatkan fantasi anak. Contohnya :
b) Bagaimanakah materi-materi yang cocok untuk kelas rendah (1, 2, 3) dan materi kelas tinggi (4, 5, 6) dan hal-hal apakah yang harus anda pertimbangkan dalam pemilihan materi tersebut ?
2. Bagaimanakah bentuk-bentuk pemahaman karya sastra secara reseptif dan secara produktif ?
Bentuk-bentuk pemahaman sastra secara reseptif dapat dilakukan dengan cara membaca, mendengarkan, dan menyaksikan pementasan drama. Karya sastra berbentuk prosa, seperti dongeng, cerpen, novel, roman dapat dinikmati dengan cara membaca buku atau dengan cara menyimak tatkala karya itu diperdengarkan atau dibaca orang lain. Akan tetapi, puisi sebagai performance arts pada umumnya tidak bisa dinikmati dengan baik tanpa dibaca dengan suara nyaring. Sementara itu, karya sastra berbentuk drama baru dapat dinikmati secara baik dan total apabila dipentaskan.
Membaca karya sastra tidak sekedar memahami isi melainkan juga menikmati keindahannya. Dalam kegiatan itu pembaca dituntut kemampuannya untuk menangkap nilai estetik dan memahami unsur struktur yang membangun karya sastra. Semua itu dimaksudkan agar pembaca dapat menikmati dan menjiwainya sehingga memungkinkan seorang pembaca untuk menceritakan dan mengekspresikannya kepada orang lain.
Seseorang yang ingin membaca dan mendengarkan suatu cerita dengan baik perlu berbekal pengetahuan tentang unsur-unsur pembentuk prosa, misalnya (1) penokohan dan karakter, (2) alur atau plot cerita, (3) setting atau latar cerita, (4) point of view atau pusat pengisahan, (5) tema, dan (6) amanat. Dengan demikian, pembaca dapat menikmati cerita itu secara utuh sehingga dapat diperoleh kesenangan, informasi, warisan kultural, dan keseimbangan wawasan.
Bentuk-bentuk pemahaman sastra secara produktif dapat dilakukan dengan cara berbicara dan menulis, khususnya menulis kreatif di sekolah-sekolah. Menulis kreatif memberikan kesempatan kepada para siswa untuk melatih dirinya mengemukakan ide imajinasinya dalam bentuk karya sastra, baik prosa, puisi, maupun drama. Menulis kreatif merupakan kegiatan penulisan yang memanfaatkan kemampuan berpikir kritis kepekaan imajinasi, dam kekuatan fantasi untuk mendukung fakta. Dalam hal ini kebenaran factual tidak menjadi ukuran satu-satunya terhadap hasil tulisan. Sasaran utamanya bukan pada intelektual dan logika saja, melainkan rasa senang dan estetika. Pembaca terkagum bukan karena kebenaran logika dan fakta, melainkan pada kebenaran artistik yang ukurannya adalah kepekaan intuitif. Percy (dalam Munandar, 1988 : 30-31) mengemukakan delapan makna dan manfaat menulis kreatif, yaitu (1) mengungkapkan diri, (2) memahami perasaan dan pikiran, (3) meningkatkan kesadaran pengamatan terhadap lingkungan, (4) melibatkan diri secara aktif, (5) mengembangkan kemampuan bahasa, (6) mengembangkan keterampilan kognitif, (7) mengembangkan inisiatif dan disiplin diri, dan (8) mendapatkan kesenangan.
Sedangkan dalam praktik bercerita yang sudah jelas menggunakan keterampilan berbicara, ada baiknya pencerita (1) menetapkan tujuan bercerita, (2) memperhatikan reaksi pendengar, (3) menjalin kontak mata dengan pendengar, (4) memperhatikan tempat duduk pendengar, (5) mengusahakan efek suara yang tepat, (6) mempersiapkan alat-alat dan sarana pendukung cerita, (7) jangan menguji pendengar, (8) memodifikasi cerita ke dalam situasi pendengar, (9) membuat persiapan untuk mengevaluasi penampilan dengan menggunakan beberapa format evaluasi, (10) mempersiapkan format yang memungkinkan pendengar melakukan kritrik dan evaluasi.
3. Sastra memuat nilai-nilai ekstrinsik dan nilai-nilai intrinsik. Uraikan secara teliti apakah nilai-nilai ekstrinsik dan nilai-nilai intrinsik tersebut, dan berikan contohnya dalam teks sastra !
Nilai-nilai intrinsik yang terkandung dalam karya sastra yaitu :
1. Tema, adalah sebagai salah satu unsur karya sastra. Tema (theme), menurut Stanton (1965 : 20) dan Kenny (1966 : 88) adalah makna yang dikandung dalam sebuah cerita. Tema walau sulit ditentukan secara pasti, bukanlah makna ynag “disembunyikan”, walau belum tentu juga dilukiskan secara eksplisit. Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna (pengalaman) kehidupan, mengajak pembaca untuk melihat, merasakan, dan menghayati makna (pengalaman) kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan itu sebagaimana ia memandangnya. Contohnya :
2. Plot, secara tradisional orang juga sering mempergunakan istilah alur atau jalan cerita, sedangkan dalam teori-teori yang berkembang lebih kemudian dikenal adanya istilah struktur naratif, susunan, dan juga sujet. Penyamaan begitu saja antara plot dengan jalan cerita, atau bahkan mendefinisikan plot sebagai jalan cerita sebenarnya kurang tepat. Plot memang mengandung unsur jalan cerita atau tepatnya : peristiwa demi peristiwa yang susul-menyusul namun ia lebih dari sekedar jalan cerita itu sendiri. Untuk memperjelas masalah tersebut, berikut contoh dalam teks sastranya : Beberapa orang dosen yang mengajar pagi jam pertama sudah seringkali menyindir, bahkan ada yang lebih dari sekedar itu, Nita yang terlalu sering datang terlambat. Jika diinterval dengan waktu, keterlambatannya berkisar antara 5 sampai antara 30 menit. Herannya, Nita sendiri seperti tak acuh. Maka, tak jarang dosen yang rajin mempertimbangkan faktor nonakademis akan mempertimbangkan sekali lagi kelulusannya. Hari Senin yang lalu pun ia terlambat hampir 25 menit. Ternyata hal itu telah didugaoleh sang dosen yang jatahnya mengajar jam 07.00 untuik kelasnya. Karena pada malam harinya, menjelang tengah malam, suatu hal yang lain dari biasanya, sang dosen yang keluar rumah mencari angin segar, melihat Nita berjalan rapat dan nyaris menggelendot dengan seorang pria di seberang jalan. Pemandangan seperti itu, dengan tokoh yang sama bukan barang baru baginya
Kisah di atas secara jelas menunjukkan adanyakaitan sebab akibat. Artinya, kemunculannya peristiwa-peristiwa yang lebih kemudian. Hubungan antarperistiwa itu bukan sekedar hubungan perurutan saja karena hubungan antarkeduanya bersifat saling memprasyarati.
3. Latar atau setting yang disebut juga landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan social tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981 : 175). Tahap awal karya fiksi pada umumnya berisi penyituasian, pengenalan terhadap berbagai hal yang akan diceritakan. Misalnya, pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan, suasana tempat, mungkin juga hubungan waktu, dan lain-lain yang dapat menuntun pembaca secara emosional kepada situasi cerita. Namun, hal itu tidak berarti bahwa pelukisan dan penunjukan latar hanya dilakukan pada tahap awal cerita. Penggambaran latar yang berkepanjangan pada tahap awal cerita justru dapat membosankan. Penunjukan latar fisik dalam karya sastra dapat dengan cara yang bermacam-macam, tergantung selera dan kreativitas pengarang. Ada pengarang yang melukiskan secara rinci, sebaliknya ada pula yang menunjukkannya dalam bagian cerita. Artinya, ia tak secara khusus menceritakan situasi latar. Contohnya : Baru keesokan harinya pemuda-pemuda memperoleh kepastian : Belanda dursetut ke Yogya, kota kabupaten diduduki musuh. Tetapi di hari pasaran Pon berikut masih banyak juga perempuan yang toh pergi ke pasar, jauh di bawah sana di tepi jalan raya aspal. Akan tetapi mereka pulang kecewa karena semua took tutup. Malam berikut orang-orang Juranggede melihat dar desa mereka, bahwa di bawah sana banyak kelihatan api menyala. Sekarang ada pula dua api. Di atas sana api kawah gunung Merpi. Di bawah sana api perang.
(Burung-burung Manyar, 1981 : 110)
Dalam karya fiksi tidak terbatas pada penempatan lokasi-lokasi tertentu, atau sesuatu yang bersifat fisik saja, melainkan juga yang berwujud tata cara, adapt istiadat, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berlaku di tempat yang bersangkutan (spiritual setting).
4. Penokohan, seperti dikatakan oleh Jones (1968 : 33), adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Sedangkan tokoh cerita, menurut Abrams (1981 : 20) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh”, sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan sekaligus menyaran pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah cerita. Contohnya :
- “Lho, ya nDoro Kanjeng pensiunan/Direktur Jenderal RTF di Betawi/Pada jaman permulaan Orde Baru/….(54).
- Kini dia menjadi dosen di Ngayogyakarta/Fakultas Sastra dan Kebudayaan/Universitas Gadjah Mada/Dan Fakultas Sastra dan Kebudayaan/Universitas Sebelas Maret, Solo/Sebagai Ketua Dewan film Nasional/markasnya di Kuningan, Betawi/Sebagai Direktur Pusat Sinau dan/Penelitian Kebudayaan Indonesia/Universitas Gadjah Mada/….(55).
5. Sudut pandang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita sebuah karya fiksi kepada pembaca (Abrams, 1981 : 142). Dengan demikian, sudut pandang pada hakikatnya merupakan srtategi, teknik, siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang dibedakan menjadi bentuk persona tokoh ketiga, persona tokoh pertama, dan sudut pandang campuran.
a. Sudut Pandang persona ketiga : “Dia”
Pada sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narrator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya ; ia, dia, mereka, nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus disebut, dan sebagai variasi dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan / siapa yang bertindak. Contohnya : Sadeli dan David memandang padanya separuh takjub. Apakah Maria berbicara sungguh-sungguh, atau hanya hendak mempermainkan mereka saja?
Melihat air muka mereka yang keheranan, Maria tiba-tiba tertawa, merasa amat lucu. Davud Wayne dan Sadeli ikut tertawa, meskipun tak begitu mengerti apa yang ditertawakan Maria, dan segera mereka merasa seakan sudah berkenalan lama.
(Maut dan Cinta, 1977 : 215).
b. Sudut Pandang persona pertama : “Aku”
Dalam hal ini, narator adalah seseorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri mengisahkan peristiwa na tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang lain kepada pembaca. Kita, pembaca, menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, maka kita hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut. Contoh : Aku sandarkan kepalaku pada tugu Jono. Aku pandang tamasya di sekitar bukit lewat lindungan sejuk Ray Ban. Pribadi Jono akulah yang paling kenal. Rumahnya dekat rumahku. Sejak SMP hingga SMA duduk sebangku atau berdampingan. Pasukan kami sama.
Angin sejuk dan lembut : hawa panas dan kering. Aku nyalakan sebatang “Wembley” lagi dan Jono berkata dalam makamnya………
(“Senyum” dalam Hujan Kepagian, 1966 : 12 dan 22).
c. Sudut Pandang campuran : “Dia dan Aku”
Yaitu pengarang berganti-ganti dari teknik yang 1 ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dilukiskannya. Contoh : Romina menghirup kopi itu dengan perasaan lega. Matanya tidak gelisah. Selama ini ia terbebani menjaga barang pecah belah agar tidak tersenggol oleh orang lain, dan jatuh berantakan. Menjaga barang seperti itu, menyebabkan ketegangan jiwa sepanjang hari. Suara hati Bram digugat oleh dirinya sendiri.
Awas Bram, kamu jangan terjebak Bram. Memang naluri kelaki-lakianmu selalu ingin melindungi wanita. Laki-laki akan mendapat kenikmatan dila dirinya diperlukan. Kejantanan zaman sekarang, bukan lagi terpusat pada kekuatan otot. Melainkan beralih ke sikap melindungi perempuan.
(Suami, tth : 123)
6. Bahasa, dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat dalam seni lukis. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, sarana, yang diolah untuk dijadikan sebuah karya yang mengandung “nilai lebih” daripada sekedar bahannya itu sendiri. Bahasa merupakan sarana pengungkapan sastra. Di pihak lain sastra lebih dari sekedar bahasa, deretan kata, namun unsur “kelebihan”-nya itu pun hanya dapat diungkap dan ditafsirkan melalui bahasa. Bahasa dalam sastra pun mengemban fungsi utamanya : fungsi komunikatif (Nurgiyantoro, 1993 : 1).
Y.B. Mangunwijaya dalam Burung-burung Manyar pun banyak memberikan sikap mengejek dan mengkritik tokoh-tokoh rakyat Indonesia yang bodoh namun lugu. Namun, di balik itu sebenarnya terimplisit keprihatinan yang bodoh-lugu itu. Hal ini sebenarnya yang ingin didialogkannya kepada pembaca, yang dengan sengaja menyikapi tokoh, juga keadaan, seperti itu.
Aku keluar rumah. Kulihat perempuan-perempuna mencuci dan berak di kali Manggis dengan air seperti jenang coklat. Bahkan sungai di sisi Timur kota Magelang yang sekotor itu ironis sekali diberi nama kali Bening. Di negeri seperti ini, air yang begitu kotor penuh berak dan hasil toh sudah berhak disebut bening.tetapi dalam kanal seperti itu juga aku dulu sebagai anak kolong mandi dengan nyaman segar.
(Burung-burung Manyar, 1981 : 132).
7. kk
8.
4. Karakteristik sastra anak terdapat 3 hal penting. Bagaimana dan berikan contoh karakteristik sastra anak tersebut ?
Sarumpaet (1976) mengidentifikasi tiga ciri pembedaantara bacaan anak-anak dengan bacaan orang dewasa dilihat dari sisi nilai, cara penyajian, dan fungsi. Ketiga ciri pembeda itu ialah adanya (a) sejumlah pantangan, (b) penyajian dengan gaya langsung, dan (c) adanya fungsi terapan.
Pertama, unsur pantangan. Tema cerita anak-anak ditentukan berdasarkan nilai edukatif. Secara psikologis, persoalan-persoalan seks, cinta erotis, kebencian, kekejaman, kekerasan, dan prasangka serta masalah hidup dan mati yang sering dijadikan fokus dalam isi sastra pantang disajikan untuk anak-anak. Hal itu akan berdampak buruk bagi pertumbuhan dan kejiwaan, watak, dan ideologi anak. Tema yang sesuai dengan prosa fiksi anak-anak adalah tema-tema yang menyajikan masalah-masalah yang sesuai dengan kehidupan anak, seperti kepahlawanan, kepemimpinan, suka duka, pengembaraan, peristiwa sehari-hari, kisah-kisah perjalanan seperti ruang angkasa, penjelajahan, dan sebagainya (Sarumpaet, 1976; Huck, 1987; Mitchell, 2003). Walaupun cerita dapat berakhir dengan duka, yang penting bersifat afirmatif (menimbulkan respons yang positif). Contohnya :
Kedua, penyajian dengan gaya langsung. Penyajian dengan gaya langsung umumnya berkaitan dengan pengaluran, penokohan, latar, pusat pengisahan, dan gaya bahasa. Alur cerita anak-anak seharusnya singkat dan mengetengahkan jalinan peristiwa yang dinamis dan jelas sebab-sebabnya. Di sana-sini diselingi dengan dialog yang wajar, organis, dan hidup. Melalui pengisahan dan dialog akan terwujudkan suasana yang tergambar tokoh-tokoh yang jelas sifat, peran, maupun fungsinya dalam cerita (Farris, 1993). Tokoh-tokoh pun harus jelas kedudukannya, yakni yang baik dan yang jahat sama-sama mendapat tempat. Hubungan-hubungan yang baik maupun yang buruk antartokoh cerita harus beralasan kuat dan dapat diterima. Cara penyajian tokoh dan metode ragaan bias digunakan secara berselang-selang agar cerita menjadi hidup dan wajar.
Latar cerita juga dapat memudahkan anak mengidentifikasi cerita. Cerita dengan latar, tempat, dan waktu yang dekat dengan kehidupan anak sehari-hari dapat menarik perhatian anak. Cerita dengan latar yang asing dan jauh dari kehidupan anak-anak juga busa menjadi daya tarik dan akan membukakan mata anak-anak ke dunia yang lebih luas (Moody dalam Taufik, 1995). Begitu juga dengan pusat pengisahan atau sudut pandang yang jelas akan dapat memperjelas amanat cerita. Mengingat faktor pembaca cerita adalah anak-anak, pusat pengisahan yang sesuai untuk anak-anak adalah pencerita membiarkan tokoh-tokohnya berkisah sendiri.
Gaya bahasa dalam cerita anak umumnya dituturkan secara langsung, tidak berbelit-belit (sederhana), kalimatnya pendek-pendek, tetapi tetap mengacu pada faktor keindahan. Moody (dalam Taufik, 1995) mengingatkan perlunya disesuaikan antara tingkat kesukaran dengan tingkat kematangan intelektual anak-anak.
Ketiga, unsur terapan.kebanyakan bacaan anak-anak ditulis oleh orang dewasa sehingga fungsi terapan sering dimanfaatkan untuk menampung kecenderungan penulisnya untuk menggurui (Sarumpaet, 1976). Dari sisi format dan artistiknya, karakteristik sastra anak dapat terlihat dari segi ukuran, gambar dan ilustrasi, warna dan elemen-elemen gambar dalam cerita (Tomlinson, 2002; Mitchell, 2003; Norton, 1987). Biasanya sastra anak dilengkapi dengan gambar-gambar yang lebih menunjang sebagai media pemahaman yang dituliskan. Gambar merupakan media visual dan dapat dijadikan sebagai sebuah tiruan. Melalui gambar yang menarik anak akan akrab dengan cerita dan lebih menguatkan fantasi anak. Contohnya :
Posting Komentar untuk "TAKE HOME"